Terlahir dari keluarga yang tidak
mampu dan tidak utuh, membuat karakter saya kuat tapi tak menentu. Dari usia 1
tahun sudah mengalami broken home membuat saya terpisah jauh dengan sosok
seorang ayah. Ya, praktis hanya hidup dengan seorang ibu dan kakak perempuan.
Dimasa kecil tersebut saya tidak
mempunyai cita-cita pasti. Hanya sekedar menjalankan rutinitas sekolah setiap
hari dengan segala keterbatan yang ada. Tak jarang meski sudah usia 10 tahun
saya menangis hanya karena belum bayaran atau karena ibu tidak bisa mengambil
raport karena harus bekerja mencari uang disebuah pabrik kecil. Di tempat
itulah sampai sekarang beliau menjemput rizki untuk membiayai sekolah saya dan
kakak saya.
Beruntung ke-Maha Adilan Allah SWT
mengkaruniakan saya kecerdasan diatas rata-rata teman sebaya saya. Dengan IQ
127 saya seperti mendapatkan kemudahan dalam belajar dan berfikir logis.
Alhamdulillah lulus dari sekolah dasar dengan nilai tertinggi. Disaat
teman-teman lain memilih sekolah menengah pertama (SMP) yang berada didekat
rumah, saya menentukan pilihan sendiri dengan memilih sekolah di kota dengan
jarak cukup jauh yakni 5 km yang saya tempuh dengan mengayuh sepeda atau kadang
diatarkan dengan sepeda mini ibu saya ke terminal setelah itu naik angkot.
Pelajaran hidup dari kecil menempa
saya untuk melakukan efort yang lebih dari teman-teman saya. Bagi mereka
melanjutkan ke perguruan tinggi adalah hal yang biasa karena memang dibiayai
orang tua. Berbeda dengan saya, meski lulusan terbaik di SMK saya, saya harus
menghabiskan masa muda saya untuk bekerja menjadi karyawan di sebuah perusahaan
otomotif. Disinilah semuanya berubah. Saya yang dikenal sombong dan arogan,
setelah mengalami kerasnya hidup di jakarta membuat saya mengalami keterpurukan.
Saya seperti membutuhkan kehidupan dibalik kehidupan. Yah, ternyata yang saya
butuhkan adalah kehidupan batin saya. Alhamdulillah sudah jalan illahi, saya
dipertemukan dengan seorang sahabat baik yang menuntun saya untuk ikut mengaji
dengan seorang ulama ternama di Indonesia. Meski sebulan hanya 2 kali, namun
itu sudah cukup membuat kegersangan dihati saya menjadi semakin sejuk. Ya,
ternyata saat itu saya diberi hidayah berupa kecerdasan Spiritual yang kemudian
berkembanga menjadi sebuah kecerdasan emosional. Saya baru menyadari itu
setelah di Jakarta saya membeli sebuah DVD ESQ karya Ary Ginanjar dan saya
mengenal tiga Istilah yakni perpaduan antara Intelektualitas, Emosional dan
Spiritual.
Alhamdulillah semenjak saat itu,
Allah seakan menunjukan saya berbagai macam hidayah. Dari mulai perang
palestina yang membuat saya care dan ikut mensyiarkan negeri tersebut dengan
membeli pernak-pernik palestina, dengan harapan saat teman saya tanya untuk apa
itu, maka saya bisa mesyiarkan bahwa palestina sedang butuh bantuan kita.
Dua tahun tinggal di Ibukota yang
dikenal dengan “kekejamannya” justru membuat saya bersyukur sekali. Disitu saya
menemukan segalanya, persahabatan, kekeluargaan dan spiritualitas. Meski begitu
tidak lantas membuat saya jadi ikut-ikutan terhadap suatu aliran tertentu.
Karena bagi saya, agama saya itu adalah agama yang penuh rahmat dan kedamaian.
Saya tidak mau mengusik agama lain dengan tindakan atau sikap ekstrim saya.
Justru saya ingin diterima dengan baik oleh semua kalangan sehingga visi
keadilan dan kepedulian bisa saya syiarkan.
Setelah saya kemudian habis kontrak
kerjanya karena memang ada pemangkasan karyawan besar-besaran membuat saya
kembali ke tanah kelahiran saya di Jawa yakni di sebuah kota kecil di Majenang,
kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Tinggal beberapa bulan dikota sendiri
malah membuat saya seperti mengalami kemandekan (stganan) dalam perkembangan
mental dan spiritualitas saya. Karena akses dikota kecil sangatlah minim,
terutama dalam keagamaan dan keilmuan. Jarang diselenggarakan event-event umum
seperti di jakarta yang bisa diikuti oleh semua kalangan. Kalaupun ada, makan
informasi akan sangat sulit di dapatkan.
Jiwa aktif yang ada dalam diri saya
seakan berontak. Namun tak lama bisa saya salurkan setelah mendapatkan kepercayaan
dari masyarakat untuk mengajar ngaji. Yah, 8 bulan mengajar ngaji tiap sore
tanpa digaji namun sangat besar manfaatnya bagi saya, karena melatih bicara
saya agar tertata dan terarah serta membuat saya semakin banyak membaca.
Kemudian saya memperoleh informasi
bahwa di kota majenang yang kecil ini sudah dibuka perguruan tinggi sekitar 2
tahunan. Singkat cerita meskipun awalnya tidak diperbolehkan oleh Ibu saya,
tapi Alhamdulillah berkat do’a dan ikhtiar saya bisa melanjutkan pendidikan
saya.
Di tempat kuliah saya inilah saya
dengan cepat menjalankan visi hidup saya. Kepedulian, keberanian dan kehausan
akan ilmu dan pengalaman membuat saya begitu aktif di kampus. Tercatat sampai
sekarang saya satu-satunya mahasiswa teraktif diangkatan saya. Hal itu bukanlah
tanpa dasar, karena bagi saya kesempatan kuliah ini adalah kesempatan mahal
yang diamanahkan Allah untuk saya dari itu saya tidak akan menyia-nyiakannya.
Baru 2 bulan saya kuliah saya langsung memimpin teman-teman saya untuk
menggalang dana bagi korban gunung Merapi. Mungkin terkesan agak sok aktif oleh
ketua BEM saat itu. Tapi saya sendiri memang tulus melakukan itu tanpa ada
embel-embel apa-apa. Dan benar adanya, saya menjadi delegasi kampus saya untuk
mengirimkan bantuan langsung tersebut ke Yogyakarta. Yah, itulah pengalaman
berharga saya pertama kali di kampus saya.
Beberapa semester saya kuliah, banyak
sekali saya mendapatkan pengalaman mahal dari keaktifan saya. Dari mulai
berkegiatan kesana kemari, juga saya bisa berinteraksi dengan orang-orang hebat
sekelas Doktor dan Professor. Dari pengalaman itulah saya menjadi begitu
bersemangat, bahkan yang tadinya tak terlintas sedikitpun saya ingin S2, saat
ini justru saya sangat berhasrat ingin terus melanjutkan cita-cita saya sekolah
setinggi-tingginya. Semangat itu saya imbangi dengan banyak aktif dikegiatan.
Beberapa kali ditunjuk menjadi ketua organisasi membuat saya jauh lebih matang
dalam berfikir, membuat konsep serta menyampaikan sesuatu.
Alhamdulillah kini saya diminta
bekerja di kampus tempat saya kuliah. Saya masih akan terus merawat idealisme
kejujuran, keadilan dan kepemimpian saya yang praktis dan taktis. Dan masih
akan terus berusaha membantu tetangga atau kawan yang kekurangan saat mengalami
kesulitan seperti yang sudah biasa saya lakukan selama ini.
Perjalanan hidup sejak kecil membuat
saya sanggup memotivasi diri saya sendiri. Dengan visi kejujuran, kepedulian
dan keadilan membuat saya ingin terus menimba ilmu agar kelak jika saya
mempunyai sedikit kekuasaan akan saya syiarkan kebaikan dan keteladanan. Karena
dengan idelaisme seperti itu, sangatlah sulit menemukan orang-orang yang sama
idealismenya dengan saya. Bahkan sempat terbesit sebuah mimpi liar bahwa saya
ingin menjadi Anggota KPK yang kadang ditertawakan oleh teman-teman saya.
Kini saya kembali mendapatkan berkah
dari Allah SWT karena berhasil meraih Cumlaude dan menjadi Wisudawan Terbaik,
tentunya dengan segala idealisme dan perjuangan hidup yang saya jalani. Tentunya
ini berkat do’a-do’a baik dari Ibunda tercinta, sahabat-sahabat dekat saya
Ifatun Julaikha, Fuq’an Shofi, Soinun Amrilah, Tri hayati, Agus Rojul, juga
tidak lupa untuk Guru-guru saya Prof. Ali Mudlofir, Dr. Busyro Muqoddas sang
Inspirator, Dosen-dosen saya semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu, serta rekan seperjuangan yaitu mahasiswa STAIS Majenang angkatan 2010.
Terima kasih atas segala dukungan kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar