Welcome to FRENDI FERNANDO (Majenang)Website ... monggo dinikmati...

Senin, 04 Oktober 2010

perkembangan Madzhab Syafi'i di Indonesia

Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke I H, dengan damai. Daerah yang mula-mula dimasuki Islam adalah Lamno (kota pelabuhan di Aceh Barat), Fansur (Singkel), Pasai (Lhok Soumawe), Perlak, Perlaman, Jambi, Malaka dan Jepara (Jawa Tengah).

Yang mula-mula menganut Islam di Indonesia ialah orang-orang persia yang tinggal di pantai-pantai Persia, Perlak. Mereka tinggal disana adalah dengan tujuan untuk menyambut kawan-kawan mereka sebangsa yang datang berdagang melalui daerah itu menuju Tiongkok.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad Saw lahir (571 M) hubungan dagang antara Persia, India dengan Tiongkok sudah lama terjalin. Pedagang-pedagang Persia dan India banyak yang pergi berdagang ke Tiongkok lewat laut dengan route perjalanan Persia-Gujarat (pantai Idia sebelah barat)-Ceylon-Koromandel (pantai India sebelah timur), Malaka (semenanjung malaya)-Kamboa (Indocina)-Kanton (Tiongkok).

Pada tahun 17 H, kaum Muslimin dibawah pimpinan Khalifah ke II Umar bin Khattab menguasai Persia, sesudah mengadakan pertempuran di Qadisiyah dan Madain. Orang-orang persia sesudah itu berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini berpengaruh pada orang-orang Persia yang tinggal di Persia dan Perlak, sehingga mereka segera menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi di negeri mereka dan berbondong-bondong pula masuk Islam. Penduduk asli Indonesia ketika itu pada umumnya menganut agama Hindu, Budha dan banyak pula yang tidak beragama.

Setelah Mu’awwiyah bin Abi Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam tahun 41 H, dipindahkannya Ibu kota dari Madinah ke Damaskus, Damaskus pada zaman itu sudah lama menjadi route perdagangan antara Tiongkok dan Erofah melalui darat. Damaskus menjadi tempat persinggahan kafilah-kafilah dagang yang datang dari Eropah menuju Tiongkok atau sebaliknya untuk istirahat dan melengkapi perbekalan.

Muawwiyah bin Abi Sufyan disamping menaruh perhatian kepada kegiatan perdagangan melalui laut antara Basyrah-Teluk Persia-Tiongkok pulang pergi, beliau juga mengirim muballigh-muballigh Islam keluar negeri termasuk juga ke Indonesia. Utusan yang dikirim Khalifah Mu’awwiyah bin Abi Sufyan itu bahkan ada yang sampai ke hulu sungai Jambi di Sumatera Tengah dan ke Jepara di Jawa Tengah.

Sesudah kerajaan Fatimiyah ditumbangkan oleh Sulthan Shalahuddin Al Ayubi di Mesir pada tahun 577 H, mulailah datang muballig-muballig Islam bermazhab Syafi’i ke Indonesia. Mereka diutus oleh kerajaan Ayyubiyah dan kemudian oleh kerajaan Mamalik.

Kerajaan Ayyubiyah berkuasa di Mesir selam,a 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik sampai akhir abad ke IX H (permulaan abad XIV M).

Kedua kerajaan ini adalah penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i yang sangat gigih. Muballigh-muballigh yang dikirim oleh kedua kerajaan ini bertebaran keseluruh pelosok dunia termasuk Indonesia. Diantara muballigh-muballigh Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail Ash Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam mazhab Syafi’i. Dengan usaha beliau, ummat Islam Pasai kembali menganut mazhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun sejak saat itu menjadi penganut mazhab Syafi’i yang gigih.

Ismail Ash Shiddiq juga berhasil mengangkat merah Silu, orang asli Indonesia menjadi raja di Pasai (1225-1297 M) dengan gelar Al Malikush Shalih. Berkat pengaruh Sulthan Al Malikush Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan orang-orang Islam di Pulau jawa sekitar abad ke VII H. berbondong-bondong menganut mazhab Syafi’i.

Mulai tahun 1441 M sampai tahun 1476 M (820-855 H), di Malaka berkuasa Sultan Mansyur Syah I, penganut mazhab Syafi’i yang tangguh. Sultan ini mengutus muballigh-muballigh Islam yang bermazhab Syafi’i ke Minangkabau timur yang sudah lama ditinggalkan oleh orang-orang yang bermazhab Syi’ah sesudah di kalahkan oleh kerajaan Majapahit tahun 1399 M. Berkat pejuangan dari muballigh-muballigh itulah mazhab Syafi’i berkembang kembali di Minangkabau Timur.

Kemudian dari Miangkabau timur Mazhab Syafi’I berkembang ke Batak, muara sungai Asahan dan Simalungun, disiarkan oleh muballigh-muballigh Islam bermazhab Syafi’i bekembang kembali di Minangkabau timur. Mereka juga sampai ke Ujung Pandang dan Bugis, bahkan sampai ke pulau-pulau di Philipina.

Dalam abad ke XV M, atau abad ke IX H. Kesultanan Samudra Pasai di Aceh dan kesultanan Malaka di negeri Malaya sangat aktif mengembangkan Islam mazhab Syafi’i ke Pulau Jawa, yaitu Demak dan Cirebon.

Itulah sebabnya maka agama Islam bermazhab Syafi’i dianut oleh ummat Islam di Pulau Jawa.

Sebagaimana diuraikan di atas, di pulau Jawa islam juga masuk sejak dini (abad 1 H), tetapi gelombang perkembangan agama Islam besar-besaran di Pulau awa terjadi dalam abad ke XV M. (IX H). khususnya sesudah priode Wali Songo (Wali Sembilan).

Wali Songo adalah muballigh-muballigh Islam di tanah Jawa, semuanya menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i.

Nama-nama mereka adalah :

1. Maulana Malik Ibrahim

2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)

3. Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang)

4. Masih Ma’unat (Sunan Derajat)

5. Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri atau Raden Paku)

6. Sunan Kalijaga

7. Syaikh Ja’far Shadiq (Sunan Qudus)

8. Sunan Murio, dan

9. Fatahillah (Sunan Gunung Jati).

Kerajaan Islam Demak juga mengnut mazhab Syafi’i berkat Dakwah yang dilancarkan oleh Muballighin Islam bermazhab Syafi’i yang diutus oleh kerajaan pasai, sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Demikian pula kesultanan Aceh di pasai (abad V-X H) dan di Aceh besar (abad X-XI) semua sultannya bermazhab Syafi’i dan berusaha pula mengembangkan mazhab Syafi’i di daerah kekuasaannya, bahkan sampai ke wilayah-wilayah lain di Nusantara ini.

Sekitar abad XVI dan abad XVII, tercatatlah dalam sejarah sseorang ulama’ besar mazhab Imam Syafi’i dari negeri Arab datang ke negeri Aceh, yaitu Syaikh Nuruddin Ar Raniri. Ulama’ ini sangat berpengaruh dan berwibawa baik dalam, kesultanan Aceh maupun di kalangan rakyat negeri itu. Beliau mengarang kitab Ash Shiratul Mustaqim kitab Bustanus Salathin. Kitab Ash Shiratal Mustaqim pada abad ke XVII, diberikan syarah oleh Syaikh Arsyad Al Banjari, mufti Syafi’i di Banjarmasin. Kitab Syafi’i ini tersebar luas di Indonesia dan di Semenanjung Malaya dari abad XVIII sampai abad XX ini.

Upaya Syaikh Nuruddin Ar Raniri dalam mengembangkan Islam mazhab Syafi’i dalam abad ke XVI dan XVII di Aceh medapat sambutan besar dikalangan ulama’-ulama’ Islam di seluruh Indonesia.

Adapula ulama’ Aceh yang masyhur ketika itu, yaitu Syaikh Abdur Ra’uf bin Ali Al Fansyuri, seorang ulama fiqih Syafi’I, yang mendapat kedudukan tinggi dan menjadi penasehat Sultan dalam hukum-hukum agama. Beliau pernah menerjemahkan tafsir Al-Qur’an Al Baidlowi ke dalam bahasa Melayu . Banyak thullab dan santri datang belajar kepada beliau, diatarnya :

1. Syaikh Arsyad Al Banjiri, yang kemudian menjadi mufti di Banjarmasin.

2. Syaikh Yusuf Tajul khalwati dari Makasar, yang kemudian menjadi mufti di Banten di bawah naungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Berkat usaha dan perjuangan murid-murid Syaikh Ar Raniri dan Syaikh Abdur Ra’u Al Fansyuri dari Aceh ini bertambah tersiarlah agama Islam bermazhab Syafi’i ke seluruh penjuru tanah air pada abad XVII dan XVIII M.

Kitab-kitab karangan ulama’-ulama’ Syafi’iyah diajarkan di surau-surau dan langgar-langar sampai sekarang bukan saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan Brunai Darussalam, seperti kitab Ash Shiratal Mustaqim karangan Syaikh Ar Raniri dan lain-lainnya.

Ditanah jawa, pahlawan nasional pangeran Dipenegoro, keturunan keraton yang berperang melawan Kolonial Belanda di sekitar Yogyakarta (1825-18930) adalah penganut faham Ahlusunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i. Keraton Yogyakarta, juga tidak mustahil, keseluruhannya menganut mazhab Syafi’i pula.

Di Sulawesi juga mazhab Syafi’i dianut oleh kaum muslimin. Yang membawa aaran mazhab ini kesana adalah mubaligh-muballigh Islam dari Minangkabau Timur. Salah seorang dari mereka yaitu Datuk Ri Bandang, telah berhasil meng Islamkan Raja Goa tanggal 22 Septmber 1605 M, dan diberi gelar Sulthan Alauddin Awwalul Islam. Wazirnya pun ikut memeluk Islam. Akhirnya seluruh rakyatnya memeluk agama Islam Ahlussunah wal Jama’ah yang bermazhab Syafi’i.

Kerajaan Goa kira-kira tahun 1606 M, berhasil menaklukkan Raja Bone, kemudian pada tahun 1616 sampai tahun 1626 M, menaklukkan Raja Bima, Sumbawa dan Nusa Tenggara dan Buton. Islam bermazhab Syafi’i masuk bersamaan dengan Islam ke Goa, Bone, Bima, Sumbawa, Lombok kemudian Buton.

Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sampai sekarang ini adalah Islam Ahlussuna wal Jamaah yang bemazhab Syafi’i.

Itulah sebabnya Pengadilan Agma di Indonesia menetapkan hukum Islam berdasarkan mazhab Syafi’i. Di Indonesia sekarang ini banyak terdapat organisasi massa yang menganut, memperjuangkan dan menegakkan Islam Ahlusunah wal jama’ah yang bemazhab Syafi’i, seperti :

1. Nahdlatul Ulama’ (NU)

2. Nahdlatul Wathan (NW)

3. Al am’iyatul Washilah

4. Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Imam As Syafi'i

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.

Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN

Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

PERTUMBUHANNYA

Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.

Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang

KECERDASANNYA

Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.

2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.

3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.

4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.

Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

MENUTUT ILMU

Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

GURU-GURU BELIAU

Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah

2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri

3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i

4. Sufyan bin Uyainah

5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

1. Malik bin Anas

2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany

3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;

1.Mutharrif bin Mazin

2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.

2.Ismail bin Ulayah.

3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.

MURID-MURID BELIAU

Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:

1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.

2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani

3. Ishaq bin Rahawaih,

4. Harmalah bin Yahya

5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi

6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

KARYA BELIAU

Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU

Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”

Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”

Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”

PRINSIP AQIDAH BELIAU

Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.

Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,

“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

PRINSIP DALAM FIQIH

Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH

Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”

Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”

Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”

PESAN IMAM ASY-SYAFI`I

“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

WAFAT BELIAU

Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”

KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I

“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu.

Hubungan Tasawuf dengan Syari'at,Tareqat,Hakikat dan Ma'rifat...

Bismillahirrahmanirrahim

Hubungan Tasawuf dengan Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat

Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai tasawuf perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa hubungan tasawuf dalam dunia islam tidak bisa terlebas dari keempat ajaran dan amalan dalam Islam yang merupakan satu keseluruhan yang integral bagi setiap mukmin yang mendalaminya. Karena Islam itu adalah syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat yang memiliki hubungan satu sama lainnya.

Hubungan Tasawuf dan Syariat.

Menurut etimologi , syariat adalah tempat yang didatangi atau yang dituju oleh manusia menuju sumber air atau jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Istilah Syara’ , syariat merupakan nash-nash suci yang dikandung di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan kata lain syariat adalah hukum atau aturan yang terkandung di dalam Al Quran sebagaimana yang di firmankan oleh Allah swt.

Firman Allah swt :

“ Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS. Al Maidah 5:48)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikut hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jatsiah 45:18)

Imam Syafi’i mendefinisikan fiqih adalah suatu ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah yang diperoleh dari suatu persatu dalilnya. Dengan demikian, fiqih adalah apa yang dapat dipahami manusia dari teks-teks suci Al Quran dan Sunnah dengan melakukan ijtihad untuk menangkap makna-makna, ‘illat-‘ilat (sebab-sebab) serta tujuan yang hendak dicapai oleh teks suci tersebut. (Ensiklopedia Islam 4,1994:345-346)

Syekh Amin Al Kurdi memberikan batasan syariat :

Syariat adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw yang dipahami (dan diijtihadkan) oleh para ulama dari Al Kitab, Sunnah, baik berbentuk nash atau istimbath. Hukum-hukum itu meliputi Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih dan Ilmu Tasawuf (Syekh Amin Al Kurdi 1994: 364)

Sunnatullah berarti ketentuan atau tata hukum Allah dalam mengatur alam semesta ini. Padanya ada hubungan sebab akibat, dan amal ada hasil dan seterusnya. Bagaimana mengatur manusia sebagai makhluk sosial, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam.

Untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri diperlukan adanya suatu jalan atau cara atau metode supaya kita tidak menyimpang dari tujuannya. Jalan atau metode tersebut dinamakan tarekat. Tasawuf adalah sikap hati rohani yang takwa yang selalu ingin dekat kepada Allah swt, dihubungkan dengan arti syariat dalam artian luas meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam. Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, tidak mungkin hanya dengan melaksanakan zikir atau zikrullah dalam artian khusus saja, tetapi harus dengan melaksanakan syariat yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Seluruh aktifitas syariat harus digerakkan, didasarkan, dimotivasikan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas lillahi ta’ala yang bermuara mendapatkan ridha Allah dan berdampak memperoleh mashlahah umat yang menjadi tujuan syariat. Atau yang penulis sebutkan dengan mentahqikkan tauhid makrifatullah yang merupakan satu-satunya tujuan Allah menjadikan manusia.

Firman Allah swt. :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS.Adz Dzariyat 51-56)

Ibnu Abbas menafsirkan illaa liya’buduuni dengan illaa liya’ rifuuni dengan artinya : “Kecuali supaya mereka mengenal atau ma’rifah kepada-Ku”

Sabda Rasulullah saw dalam Hadist Qudsi :

“Adalah Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya diketahui siapa Aku, maka Aku jadikanlah makhluk-Ku, maka dengan Allah mereka mengenal Aku”.

Imam Malik mengatakan :

“Barangsiapa berfiqih/bersyariat saja tanpa bertasawuf niscaya dia berkelakuan fasik (tidak bermoral) dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfiqih/bersyariat, niscaya dia berkelakuan zindiq (menyelewengkan agama) dan barangsiapa yang melakukan kedua-duanya, maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki”

Imam Al Ghazali mengatakan :

“Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku dia adalah menempuh jalan (tareqat) kepada Allah, tetapi sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertareqat dan telah menampakkan semacam kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat. Sebab orang yang bijaksana (tasawuf) mengatakan, jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakuka sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah syaitan”






Tasawuf dan Tareqat

Secara etimologi tarekat adalah jalan (Al Kaifiyah) atau metode,sistem (Al Uslub), aliran (mazhab). Menurut istilah berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Alla swt.

Syekh Amin Al Kurdi memberikan batasan mengenai tarekat;

“Tarekat adalah cara mengamalkan syariat dan menghayati inti syariat itu
dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan dan inti serta tujuan syariat”

Dalam melaksanaan tareqat seorang murid haruslah didampingi oleh seorang
Guru (mursyid) yang mengajarkan ilmu tareqat dengan benar. Dalam mempelajari ilmu tareqat ini seorang murid haruslah mengikuti syariat dengan benar dan tidak boleh meninggalkan syariat, bahkan tareqat itu sendiri merupakan pelaksanaan menjalankan syariat. Syekh Mursyid inilah yang akan membimbing dan bertanggung jawab terhadap muridnya dalam melakukan tareqat. Seseorang yang masuk tareqat diwajibkan sunat mandi taubat (taubatan nashuha) terlebih dahulu kemudian ditalqinkan oleh syekh mursyidnya sehingga terjalin ikatan batin antara Syekh Mursyid dan muridnya itu. Talqin yang dimaksud ini adalah mentawajuhkan zikrullah ke dalam hati sanubari murid. Kemudian seorang murid akan di bai’at yakni berjanji /bersumpah di hadapan Allah mematuhi syariat (amar ma’ruf nahi munkar) dan hakikat agama islam dan patuh sebagai pengamalan tareqat dibawah bimbingan Syekh Mursyid. Seorang murid tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan oleh Syekh Mursyidd. Dan setelah melakukan ritual tawajuh seorang murid akan diberikan ijazah sebagaimana tersebut dalam silsilah guru-gurunya.

Selanjutnya seorang mursyid akan menjelaskan tareqat itu berarti menjauhkan diri dari segala yang dilarang syara’, zahir maupun batin dan mengikuti segala perintah dari Allah yang diusahakan dengan sepenuh hati. Melaksanakan segala kewajiban fardhu dan ibadah sunat-sunat sesuai dengan petunjuk dan perintah serta pengawasan dari seorang ‘arif (Syekh Mursyid) yang telah mencapai tingkat tertinggi (Al ‘arif billah).

Contoh tareqat dalam pelaksanaan tasawuf, sabda Rasulullah saw yang artinya : “Tidak sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku telah mencurahkannya kembali ke dalam dada Abu Bakar Siddiq ra”. Hadist ini menunjukkan pengertian mencurahkan itu adalah mencurahkan talqin zikir oleh Rasulullah kepada Saidina Abu Bakar.

Sabda Rasulullah saw yang maksudnya : “Dari Ali Karamallahu Wajhah manakah jalan/tareqat/cara yang paling mudah untuk bertaqarrub kepada Allah dan nilainya adalah yang paling afdhal. Jawab Rasulullah : “Hendaklah kamu berkekalan dalam keadaan berzikrullah. Jawab Ali : “Semua manusia berzikir kepada Alah. Sabda Rasulullah : “Wahai Ali, kiamat itu tidak akan terjadi selama masih ada di permukaan bumi ini orang yang berzikir, Allah, Allah, Allah...”. Kata Ali : “Bagaimana caranya wahai Rasulullah?” Sabda Rasulullah, “Pejamkan kedua matamu, tutup mulutmu dan tongkatkan lidahmu ke langit-langit dan dengarkanlah”, Kemudian Rasulullah berzikir La ilaha illallah tiga kali dalam keadaan matanya terpejam, kemudian Alipun mengikutinya dengan cara demikian.

Dengan keterangan hadist di atas maka jelaslah bahwa dalam kita mengamalkan tareqat tasawuf haruslah mengikuti aturan-aturan dan adab kita dalam bertawajuh yang telah diatur sedemikan rupa oleh para guru mursyid. Ritual tawajuh/sulok (penyerahan diri kepada Allah) memang tidak pernah dilakukan di masa nabi tapi ada, sebagaimana yang telah disebutkan pada hadist di atas. Ulamalah yang mengajarkan kita bagaimana mengamalkan zikir-zikir dan doa-doa munajat serta shalawat-shalawat yang telah disusun sedemikian rupa dan dibaca pada waktu-waktu tertentu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah, seperti shalat sunnah taubat, sunnah selamat iman, sunnah tahajjud, sunnah dhuha, sunnah tashbih dsb.

Sebagai contoh yang penulis alami bersama Syekh Mursyid Abuya Tgk.H.Djamaluddin Waly Al Khalidy di bulan puasa dalam menjalankan ritual tawajuh yang di pimpin langsung oleh Abuya sendiri. Dimana setelah berbuka puasa kami shalat maghrib berjama’ah dilanjutkan dengan qadha sembahyang (shalat maghrib 2 kali) begitu juga dengan shalat fardhu lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan shalat sunnah ba’diah disambung dengan shalat sunnah selamat iman juga berjamaah. Kemudian kami baca wirid doa dan shalawat. Selepas itu kami shalat Isya dan dilanjutkan dengan shalat taraweh 20 raka’at (mutafaq ‘alaih) sepakat empat mazhab dalam hal ini hingga selesai, tanpa di tutup dengan witir. Kemudian kami istirahat kemudian kami bangun jam 3 pagi shalat sunnah tahajud 8 raka’at ditutup dengan shalat sunnah witir. Kemudian kami sahur bersama (hanya nasi dan sayur2an tidak boleh makanan yang mengandung darah sepeti ikan dan daging). Dilanjutkan dengan shalat subuh berjama’ah (juga qadha subuh) dilanjutkan dengan membaca zikir-zikir asmaul husna, doa-doa munajat dan shalawat. Semua di niatkan dihadiahkan pahalanya kepada baginda Rasulullah saw, guru-guru (ulama), orang tua kita dan seluruh kaum muslimin. Ini hanya sebagian kecil catatan penulis mengenai ritual tawajuh yang dilakukan di pesantren kami di ikuti oleh ratusan orang hingga berakhirnya bulan Ramadhan.

Tasawuf dan Hakikat

Hakikat menurut bahasa artinya kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya identik dengan aspek kerohaniaan. Lebih jauh bila kata hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya menurut kajian tasawuf ialah sifat-sifat Allah swt. Adapun zat Allah itu sendiri disebut dengan Al-Haqq.

Menurut Ibnu Arabi,

“Segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan. Jika wujud Tuhan tidak ada, maka segala yang ada (mawjud) ini tidak pula akan ada. Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki atau hakikat dari segala-galanya, yang disebut dengan Al Haqq atau Haqqul-Haqa’iq. Adapun wujud-wujud yang lain hanya berupa pengejawantahan (tajali) dari wujud Al Haqq tersebut. Wujud Al Haqq tersebut tidak dapat menampakkan diri-Nya pada alam empiris yang serba terbatas ini, kecuali melalui penampakan sifat-sifat-Nya”
Wadah tajali Tuhan yang paling sempurna telah Allah perlihatkan pada diri Nabi Muhammad saw, karena beliau Al Haqiqah Al Muhammadiyah (Hakikat/Nur Muhammad). Yang penulis maksudkan disini bukanlah diri Nabi Muhammad saw yang lahir, tetapi al haqiqah al muhammadiyah itu adalah asal dari segala yang ada, yang bersifat kadim dan azali. Sebagaimana firman Allah yang mengatakan wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (tidak Aku ciptakan kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam). Makna dari ayat ini jelas bahwa tidaklah Allah jadikan alam beserta isinya kalau bukan karena adanya Nabi Muhammad. Artinya Nur Muhammad telah ada sebelum segala sesuatu diciptakan-Nya. Maka wajarlah bila ulama –ulama melahirkan ijtihad berdasarkan ayat diatas sunnah hukumnya kita merayakan Maulid Nabi pada bulan-bulan maulid. Siapa yang menentang pendapat ini berarti menentang (melecehkan) ijma’ ulama dan Rasulullah saw. Kalau Allah saja memuliakan Nabi sebegitu mulianya lalu kenapa kita tidak. Ini pendapat yang keliru tentunya.

Ada 3 tingkatan Hakikat menurut Syekh Amin Al Kurdi :

Terbukanya Hijab bagi hamba yang salik dengan apa yang dia imani tentang zat Allah, sifat-Nya, keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya.
Bersih dan Kosongnya Nafsu (hawa nafsu) hamba yang salik dari semua akhlak yang tercela dan dihiasi nafsu dengan segala sifat yang di ridhai Allah dan berakhlak dengan akhlak sunnah Rasul.
Mudah dan gampang melaksanakan amal-amal saleh dan amal kebaikan sehingga ia tidak mersakan padanya kesulitan dan keberatan, bahkan dirasakan sulit dan berat kalau dia meningalkannya.

Tasawuf dan Ma’rifat

Ma’rifat dalam bahasa artinya kenal atau tahu. Dalam tasawuf, ma’rifat berarti mengetahui Allah swt dari dekat, yaitu pengetahuan dengan hati sanubari. Seorang sufi ketika ia bercermin maka yang dilihatnya hanya Allah swt. Abu Bakar Al Kalabazi seorang sufi, bahwa Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya.

Sabda Rasulullah saw :

“Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia mengenal Tuhannya”

Dalam Hadist Qudsi :

“Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama dengannya ketika ia ingat kepada-Ku. Maka ketika dia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku dan jika dia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, Aku pun ingat kepadanya pada khalayak ramai yang lebih baik. Dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku pun mendekat pula kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku berjalan maka Aku mendatanginya sambil berlari”. (H.R.Bukhari Muslim)
Zunnun Al Mishry berkata :

“Aku kenal Tuhanku dengan Tuhanku juga, kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku (Al Qusyairi : 315)

Paham ma’rifat Zunnun itu diterima oleh Imam Al Ghazali sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena Imam Al Ghazali seorang figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Sehingga pola fikir tasawuf dapat diterima oleh kaum syariat.

Imam Al Ghazali mengatakan, “Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Alat seorang sufi mendapatkan ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indra atau akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (ma’rifat dan bukan falsafah). Yang akhirnya bertujuan meningkatkan akhlak terpuji melalui latihan jiwa yang mengandung kebahagiaan, moral, cinta pada Allah SWT dan fana di dalamnya, yakni mengacu pada moral ilahiyah”.


Demikianlah catatan kecil dari hamba yang fakir dan dhaif ini. Semoga secuil catatan kecil ini bisa menjadi hikmah bagi rekan-rekan semua. Sekali lagi mohon maaf bila ada kekurangan, karena sesungguhnya kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Tidak lupa shalawat dan salam bagi baginda Rasulullah beserta keluarga dan sahabat.

Allahummashalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam