Welcome to FRENDI FERNANDO (Majenang)Website ... monggo dinikmati...

Selasa, 24 Maret 2015

“Meraih Cumlaude, ditengah Kehimpitan”




Terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan tidak utuh, membuat karakter saya kuat tapi tak menentu. Dari usia 1 tahun sudah mengalami broken home membuat saya terpisah jauh dengan sosok seorang ayah. Ya, praktis hanya hidup dengan seorang ibu dan kakak perempuan.
Dimasa kecil tersebut saya tidak mempunyai cita-cita pasti. Hanya sekedar menjalankan rutinitas sekolah setiap hari dengan segala keterbatan yang ada. Tak jarang meski sudah usia 10 tahun saya menangis hanya karena belum bayaran atau karena ibu tidak bisa mengambil raport karena harus bekerja mencari uang disebuah pabrik kecil. Di tempat itulah sampai sekarang beliau menjemput rizki untuk membiayai sekolah saya dan kakak saya.
Beruntung ke-Maha Adilan Allah SWT mengkaruniakan saya kecerdasan diatas rata-rata teman sebaya saya. Dengan IQ 127 saya seperti mendapatkan kemudahan dalam belajar dan berfikir logis. Alhamdulillah lulus dari sekolah dasar dengan nilai tertinggi. Disaat teman-teman lain memilih sekolah menengah pertama (SMP) yang berada didekat rumah, saya menentukan pilihan sendiri dengan memilih sekolah di kota dengan jarak cukup jauh yakni 5 km yang saya tempuh dengan mengayuh sepeda atau kadang diatarkan dengan sepeda mini ibu saya ke terminal setelah itu naik angkot.
Pelajaran hidup dari kecil menempa saya untuk melakukan efort yang lebih dari teman-teman saya. Bagi mereka melanjutkan ke perguruan tinggi adalah hal yang biasa karena memang dibiayai orang tua. Berbeda dengan saya, meski lulusan terbaik di SMK saya, saya harus menghabiskan masa muda saya untuk bekerja menjadi karyawan di sebuah perusahaan otomotif. Disinilah semuanya berubah. Saya yang dikenal sombong dan arogan, setelah mengalami kerasnya hidup di jakarta membuat saya mengalami keterpurukan. Saya seperti membutuhkan kehidupan dibalik kehidupan. Yah, ternyata yang saya butuhkan adalah kehidupan batin saya. Alhamdulillah sudah jalan illahi, saya dipertemukan dengan seorang sahabat baik yang menuntun saya untuk ikut mengaji dengan seorang ulama ternama di Indonesia. Meski sebulan hanya 2 kali, namun itu sudah cukup membuat kegersangan dihati saya menjadi semakin sejuk. Ya, ternyata saat itu saya diberi hidayah berupa kecerdasan Spiritual yang kemudian berkembanga menjadi sebuah kecerdasan emosional. Saya baru menyadari itu setelah di Jakarta saya membeli sebuah DVD ESQ karya Ary Ginanjar dan saya mengenal tiga Istilah yakni perpaduan antara Intelektualitas, Emosional dan Spiritual.
Alhamdulillah semenjak saat itu, Allah seakan menunjukan saya berbagai macam hidayah. Dari mulai perang palestina yang membuat saya care dan ikut mensyiarkan negeri tersebut dengan membeli pernak-pernik palestina, dengan harapan saat teman saya tanya untuk apa itu, maka saya bisa mesyiarkan bahwa palestina sedang butuh bantuan kita.
Dua tahun tinggal di Ibukota yang dikenal dengan “kekejamannya” justru membuat saya bersyukur sekali. Disitu saya menemukan segalanya, persahabatan, kekeluargaan dan spiritualitas. Meski begitu tidak lantas membuat saya jadi ikut-ikutan terhadap suatu aliran tertentu. Karena bagi saya, agama saya itu adalah agama yang penuh rahmat dan kedamaian. Saya tidak mau mengusik agama lain dengan tindakan atau sikap ekstrim saya. Justru saya ingin diterima dengan baik oleh semua kalangan sehingga visi keadilan dan kepedulian bisa saya syiarkan.
Setelah saya kemudian habis kontrak kerjanya karena memang ada pemangkasan karyawan besar-besaran membuat saya kembali ke tanah kelahiran saya di Jawa yakni di sebuah kota kecil di Majenang, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Tinggal beberapa bulan dikota sendiri malah membuat saya seperti mengalami kemandekan (stganan) dalam perkembangan mental dan spiritualitas saya. Karena akses dikota kecil sangatlah minim, terutama dalam keagamaan dan keilmuan. Jarang diselenggarakan event-event umum seperti di jakarta yang bisa diikuti oleh semua kalangan. Kalaupun ada, makan informasi akan sangat sulit di dapatkan.
Jiwa aktif yang ada dalam diri saya seakan berontak. Namun tak lama bisa saya salurkan setelah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk mengajar ngaji. Yah, 8 bulan mengajar ngaji tiap sore tanpa digaji namun sangat besar manfaatnya bagi saya, karena melatih bicara saya agar tertata dan terarah serta membuat saya semakin banyak membaca.
Kemudian saya memperoleh informasi bahwa di kota majenang yang kecil ini sudah dibuka perguruan tinggi sekitar 2 tahunan. Singkat cerita meskipun awalnya tidak diperbolehkan oleh Ibu saya, tapi Alhamdulillah berkat do’a dan ikhtiar saya bisa melanjutkan pendidikan saya.
Di tempat kuliah saya inilah saya dengan cepat menjalankan visi hidup saya. Kepedulian, keberanian dan kehausan akan ilmu dan pengalaman membuat saya begitu aktif di kampus. Tercatat sampai sekarang saya satu-satunya mahasiswa teraktif diangkatan saya. Hal itu bukanlah tanpa dasar, karena bagi saya kesempatan kuliah ini adalah kesempatan mahal yang diamanahkan Allah untuk saya dari itu saya tidak akan menyia-nyiakannya. Baru 2 bulan saya kuliah saya langsung memimpin teman-teman saya untuk menggalang dana bagi korban gunung Merapi. Mungkin terkesan agak sok aktif oleh ketua BEM saat itu. Tapi saya sendiri memang tulus melakukan itu tanpa ada embel-embel apa-apa. Dan benar adanya, saya menjadi delegasi kampus saya untuk mengirimkan bantuan langsung tersebut ke Yogyakarta. Yah, itulah pengalaman berharga saya pertama kali di kampus saya.
Beberapa semester saya kuliah, banyak sekali saya mendapatkan pengalaman mahal dari keaktifan saya. Dari mulai berkegiatan kesana kemari, juga saya bisa berinteraksi dengan orang-orang hebat sekelas Doktor dan Professor. Dari pengalaman itulah saya menjadi begitu bersemangat, bahkan yang tadinya tak terlintas sedikitpun saya ingin S2, saat ini justru saya sangat berhasrat ingin terus melanjutkan cita-cita saya sekolah setinggi-tingginya. Semangat itu saya imbangi dengan banyak aktif dikegiatan. Beberapa kali ditunjuk menjadi ketua organisasi membuat saya jauh lebih matang dalam berfikir, membuat konsep serta menyampaikan sesuatu.
Alhamdulillah kini saya diminta bekerja di kampus tempat saya kuliah. Saya masih akan terus merawat idealisme kejujuran, keadilan dan kepemimpian saya yang praktis dan taktis. Dan masih akan terus berusaha membantu tetangga atau kawan yang kekurangan saat mengalami kesulitan seperti yang sudah biasa saya lakukan selama ini.
Perjalanan hidup sejak kecil membuat saya sanggup memotivasi diri saya sendiri. Dengan visi kejujuran, kepedulian dan keadilan membuat saya ingin terus menimba ilmu agar kelak jika saya mempunyai sedikit kekuasaan akan saya syiarkan kebaikan dan keteladanan. Karena dengan idelaisme seperti itu, sangatlah sulit menemukan orang-orang yang sama idealismenya dengan saya. Bahkan sempat terbesit sebuah mimpi liar bahwa saya ingin menjadi Anggota KPK yang kadang ditertawakan oleh teman-teman saya.
Kini saya kembali mendapatkan berkah dari Allah SWT karena berhasil meraih Cumlaude dan menjadi Wisudawan Terbaik, tentunya dengan segala idealisme dan perjuangan hidup yang saya jalani. Tentunya ini berkat do’a-do’a baik dari Ibunda tercinta, sahabat-sahabat dekat saya Ifatun Julaikha, Fuq’an Shofi, Soinun Amrilah, Tri hayati, Agus Rojul, juga tidak lupa untuk Guru-guru saya Prof. Ali Mudlofir, Dr. Busyro Muqoddas sang Inspirator, Dosen-dosen saya semuanya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta rekan seperjuangan yaitu mahasiswa STAIS Majenang angkatan 2010. Terima kasih atas segala dukungan kalian.

Antara STAIS Majenang dan Rumah Perubahan (Rhenald Kasali)






Sore yang cukup cerah, tepatnya hari Jum'at tanggal 13 Februari saat suasana kantor masih cukup sibuk tiba-tiba dering khas sms dari BB'ku berbunyi. Setelah aku baca ternyata itu adalah sms dari Jakarta, ya tepatnya dari panitia #RKmentee (Rhenald Kasali of Mentee). SMS itu kurang lebih menginformasikan bahwa saya masuk sebagai salah satu kandidat RK Mentee karena artikel saya yang berjudul "Motivasi, Cita-cita dan Impian Terliar" masuk (dinyatakan lolos) dan layak untuk ditindak lanjuti.
dalam sekejap tiba-tiba keringat dingin keluar, merasa sangat surprise dengan sms tersebut. Bagaimana tidak, seleksi tersebut dilaksanakan secara open recruitmen dan disebarluaskan kepada seluruh Mahasiswa-mahasiswa di Indonesia, dan ternyata saya masuk dalam 13 Mahasiswa pilihan yang lolos menjadi salah satu kandidat.
Terang saja saya sangat bahagia dan lalu meminta izin kepada atasan saya perihal keberangkatan saya ke Jakarta tanggal 17 Maret demi menindak lanjuti proses pemanggilan saya ke Rumah Perubahan milik Prof. Rhenald Kasali.
Singkat cerita akhirnya saya berangkat ke Jakarta dengan modal optimis tinggi karena hanya saya satu-satunya Mahaasiswa yang berasal dari Perguruan Tinggi Swasta yaitu STAIS Majenang.
Sesampainya di Jakarta saya masih harus menunggu pagi karena sampai di terminal Kampung Rambutan sekitar pukul 03.00 WIB pagi. Setelah sholat subuh saya sempatkan sarapan bubur ayam khas Jakarta. Kemudian saya langsung naik angkot menuju lokasi Rumah Perubahan.
Sekitar pukul 06.30 WIB saya sampai di Rumah Perubahan berkat petunjuk dari salah satu tetangga Prof. Rhenal yang kebetulan naik satu angkot dengan saya.
Rasanya seperti tidak percaya saya berada di tempat itu karena bagi saya yang masuk ketempat itu adalah orang-orang yang penting dan banyak uang (pejabat). Kemudian saya disambut dengan baik oleh panitia. Sambil menunggu mahasiswa lainnya saya coba melihat ke berbagai sudut tempat yang luas, rindang dan indah itu. Saya juga sempat berbincang dengan beberapa tamu yang sedang mengikuti pelatihan, ya mereka bersala dari Bank Mandiri seluruh Indonesia yang sedang di training selama 3 hari di Rumah Perubahan tersebut.
Kemudian setelah pukul 09.00 berdatangan sahabat-sahabat mahasiswa yang juga lolos menjadi kandidat RKmentee, mereka ialah : Cahya dari UAD, Yudho dari UNNAS, Reza dari UGM dan Rizka dari UI. Sungguh berkesan bertemu dengan mereka. Ternyata bukan tanpa alasan kami lolos menjadi kandidat, kami punya faktor X masing-masing.
Singkat cerita akhrinya saya dan kawan-kawan diinterview dan ditest langsung kemampuan presentasinya. dan pukul 16.00 WIB kami mengakhiri aktifitas kami dan harus berpisah karena saya sudah harus pulang ke Majenang.
Selamat jalan kawan, semoga sukses...
Sungguh Pengalaman yang tk'kan terlupakan.


Re-post from web stais.ac.id 
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIS) Majenang kembali melaksanakan upacara Wisuda pada Sabtu, 21 Maret 2015, bertempat di Halaman STAIS Majenang, Cilacap. Upacara Wisuda kali ini diikuti oleh 42 wisudawan wisudawati.
Ketua STAIS Majenang, Drs. H. Tahrir, M.Pd.I secara resmi membuka upacara wisuda III, yang dirangkai dengan sejumlah acara. SK Ketua tentang Pengukuhan Lulusan dan SK Rektor tentang Lulusan Terbaik dibacakan oleh kepala P3M, Mahmuddin, M.Pd. Lulusan terbaik dari Progran Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah Frendi Fernando, S.Pd.I dengan IPK 3.64 dan Siti Fajriah , S.Pd.I dengan IPK 3.63. sedangkan dari Progran Studi Ekonomi Syari’ah adalah Dewi Yulianti, S.Ey dengan IPK 3.77.
Dalam sambutan Ketua STAIS Majenang menyampaikan, bahwa kita harus merefleksikan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang secara jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan. Implikasi dari amanat ini berarti pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas karena peran pendidikan sangat penting, begitu juga peran para guru/dosen. Beliau juga menyampaikan bahwa guru-guru saat ini dituntut mempunyai kemampuan menyerap perkembangan teknologi, terutama teknologi informasidan komunikasi (TIK), karena peran guru saat ini di tantangan untuk perkembangan peserta didik menuju era Generasi Digital.
???????????????????????
Acara Wisuda juga diisi dengan orasi ilmiah oleh Dr. Rohmat Mulyana, M.Pd sekretaris badan penelitian dan pengembangan dan Diklat kementrian Agama RI dengan judul “Pengembangan Ilmu dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Karakter Bangsa”. Beliau menyampaikan gelar akademik merupakan sebuah penghargaan institusional. Selepas memperoleh gelar akademik, wisudawan/wisudawati dituntut untuk memberdayakan diri secara profesional.
“citra diri dan institusi menjadi pertaruhan berikutnya, karena itu semangat kerja, kepeloporan, keuletan dan komitmen menjadi ruh kinerja dalam mengabdikan diri pada masyarakat” jelasnya.