Welcome to FRENDI FERNANDO (Majenang)Website ... monggo dinikmati...

Senin, 04 Oktober 2010

Hubungan Tasawuf dengan Syari'at,Tareqat,Hakikat dan Ma'rifat...

Bismillahirrahmanirrahim

Hubungan Tasawuf dengan Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat

Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai tasawuf perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa hubungan tasawuf dalam dunia islam tidak bisa terlebas dari keempat ajaran dan amalan dalam Islam yang merupakan satu keseluruhan yang integral bagi setiap mukmin yang mendalaminya. Karena Islam itu adalah syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat yang memiliki hubungan satu sama lainnya.

Hubungan Tasawuf dan Syariat.

Menurut etimologi , syariat adalah tempat yang didatangi atau yang dituju oleh manusia menuju sumber air atau jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Istilah Syara’ , syariat merupakan nash-nash suci yang dikandung di dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan kata lain syariat adalah hukum atau aturan yang terkandung di dalam Al Quran sebagaimana yang di firmankan oleh Allah swt.

Firman Allah swt :

“ Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS. Al Maidah 5:48)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikut hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jatsiah 45:18)

Imam Syafi’i mendefinisikan fiqih adalah suatu ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah yang diperoleh dari suatu persatu dalilnya. Dengan demikian, fiqih adalah apa yang dapat dipahami manusia dari teks-teks suci Al Quran dan Sunnah dengan melakukan ijtihad untuk menangkap makna-makna, ‘illat-‘ilat (sebab-sebab) serta tujuan yang hendak dicapai oleh teks suci tersebut. (Ensiklopedia Islam 4,1994:345-346)

Syekh Amin Al Kurdi memberikan batasan syariat :

Syariat adalah hukum-hukum yang diturunkan kepada Rasulullah saw yang dipahami (dan diijtihadkan) oleh para ulama dari Al Kitab, Sunnah, baik berbentuk nash atau istimbath. Hukum-hukum itu meliputi Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih dan Ilmu Tasawuf (Syekh Amin Al Kurdi 1994: 364)

Sunnatullah berarti ketentuan atau tata hukum Allah dalam mengatur alam semesta ini. Padanya ada hubungan sebab akibat, dan amal ada hasil dan seterusnya. Bagaimana mengatur manusia sebagai makhluk sosial, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam.

Untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri diperlukan adanya suatu jalan atau cara atau metode supaya kita tidak menyimpang dari tujuannya. Jalan atau metode tersebut dinamakan tarekat. Tasawuf adalah sikap hati rohani yang takwa yang selalu ingin dekat kepada Allah swt, dihubungkan dengan arti syariat dalam artian luas meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam. Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, tidak mungkin hanya dengan melaksanakan zikir atau zikrullah dalam artian khusus saja, tetapi harus dengan melaksanakan syariat yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Seluruh aktifitas syariat harus digerakkan, didasarkan, dimotivasikan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas lillahi ta’ala yang bermuara mendapatkan ridha Allah dan berdampak memperoleh mashlahah umat yang menjadi tujuan syariat. Atau yang penulis sebutkan dengan mentahqikkan tauhid makrifatullah yang merupakan satu-satunya tujuan Allah menjadikan manusia.

Firman Allah swt. :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS.Adz Dzariyat 51-56)

Ibnu Abbas menafsirkan illaa liya’buduuni dengan illaa liya’ rifuuni dengan artinya : “Kecuali supaya mereka mengenal atau ma’rifah kepada-Ku”

Sabda Rasulullah saw dalam Hadist Qudsi :

“Adalah Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi, maka inginlah Aku supaya diketahui siapa Aku, maka Aku jadikanlah makhluk-Ku, maka dengan Allah mereka mengenal Aku”.

Imam Malik mengatakan :

“Barangsiapa berfiqih/bersyariat saja tanpa bertasawuf niscaya dia berkelakuan fasik (tidak bermoral) dan barangsiapa yang bertasawuf tanpa berfiqih/bersyariat, niscaya dia berkelakuan zindiq (menyelewengkan agama) dan barangsiapa yang melakukan kedua-duanya, maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki”

Imam Al Ghazali mengatakan :

“Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku dia adalah menempuh jalan (tareqat) kepada Allah, tetapi sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertareqat dan telah menampakkan semacam kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat. Sebab orang yang bijaksana (tasawuf) mengatakan, jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakuka sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah syaitan”






Tasawuf dan Tareqat

Secara etimologi tarekat adalah jalan (Al Kaifiyah) atau metode,sistem (Al Uslub), aliran (mazhab). Menurut istilah berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri atau seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Alla swt.

Syekh Amin Al Kurdi memberikan batasan mengenai tarekat;

“Tarekat adalah cara mengamalkan syariat dan menghayati inti syariat itu
dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan dan inti serta tujuan syariat”

Dalam melaksanaan tareqat seorang murid haruslah didampingi oleh seorang
Guru (mursyid) yang mengajarkan ilmu tareqat dengan benar. Dalam mempelajari ilmu tareqat ini seorang murid haruslah mengikuti syariat dengan benar dan tidak boleh meninggalkan syariat, bahkan tareqat itu sendiri merupakan pelaksanaan menjalankan syariat. Syekh Mursyid inilah yang akan membimbing dan bertanggung jawab terhadap muridnya dalam melakukan tareqat. Seseorang yang masuk tareqat diwajibkan sunat mandi taubat (taubatan nashuha) terlebih dahulu kemudian ditalqinkan oleh syekh mursyidnya sehingga terjalin ikatan batin antara Syekh Mursyid dan muridnya itu. Talqin yang dimaksud ini adalah mentawajuhkan zikrullah ke dalam hati sanubari murid. Kemudian seorang murid akan di bai’at yakni berjanji /bersumpah di hadapan Allah mematuhi syariat (amar ma’ruf nahi munkar) dan hakikat agama islam dan patuh sebagai pengamalan tareqat dibawah bimbingan Syekh Mursyid. Seorang murid tidak boleh mencari-cari keringanan dalam melaksanakan amaliah yang sudah ditetapkan oleh Syekh Mursyidd. Dan setelah melakukan ritual tawajuh seorang murid akan diberikan ijazah sebagaimana tersebut dalam silsilah guru-gurunya.

Selanjutnya seorang mursyid akan menjelaskan tareqat itu berarti menjauhkan diri dari segala yang dilarang syara’, zahir maupun batin dan mengikuti segala perintah dari Allah yang diusahakan dengan sepenuh hati. Melaksanakan segala kewajiban fardhu dan ibadah sunat-sunat sesuai dengan petunjuk dan perintah serta pengawasan dari seorang ‘arif (Syekh Mursyid) yang telah mencapai tingkat tertinggi (Al ‘arif billah).

Contoh tareqat dalam pelaksanaan tasawuf, sabda Rasulullah saw yang artinya : “Tidak sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku telah mencurahkannya kembali ke dalam dada Abu Bakar Siddiq ra”. Hadist ini menunjukkan pengertian mencurahkan itu adalah mencurahkan talqin zikir oleh Rasulullah kepada Saidina Abu Bakar.

Sabda Rasulullah saw yang maksudnya : “Dari Ali Karamallahu Wajhah manakah jalan/tareqat/cara yang paling mudah untuk bertaqarrub kepada Allah dan nilainya adalah yang paling afdhal. Jawab Rasulullah : “Hendaklah kamu berkekalan dalam keadaan berzikrullah. Jawab Ali : “Semua manusia berzikir kepada Alah. Sabda Rasulullah : “Wahai Ali, kiamat itu tidak akan terjadi selama masih ada di permukaan bumi ini orang yang berzikir, Allah, Allah, Allah...”. Kata Ali : “Bagaimana caranya wahai Rasulullah?” Sabda Rasulullah, “Pejamkan kedua matamu, tutup mulutmu dan tongkatkan lidahmu ke langit-langit dan dengarkanlah”, Kemudian Rasulullah berzikir La ilaha illallah tiga kali dalam keadaan matanya terpejam, kemudian Alipun mengikutinya dengan cara demikian.

Dengan keterangan hadist di atas maka jelaslah bahwa dalam kita mengamalkan tareqat tasawuf haruslah mengikuti aturan-aturan dan adab kita dalam bertawajuh yang telah diatur sedemikan rupa oleh para guru mursyid. Ritual tawajuh/sulok (penyerahan diri kepada Allah) memang tidak pernah dilakukan di masa nabi tapi ada, sebagaimana yang telah disebutkan pada hadist di atas. Ulamalah yang mengajarkan kita bagaimana mengamalkan zikir-zikir dan doa-doa munajat serta shalawat-shalawat yang telah disusun sedemikian rupa dan dibaca pada waktu-waktu tertentu dilengkapi dengan shalat-shalat sunnah, seperti shalat sunnah taubat, sunnah selamat iman, sunnah tahajjud, sunnah dhuha, sunnah tashbih dsb.

Sebagai contoh yang penulis alami bersama Syekh Mursyid Abuya Tgk.H.Djamaluddin Waly Al Khalidy di bulan puasa dalam menjalankan ritual tawajuh yang di pimpin langsung oleh Abuya sendiri. Dimana setelah berbuka puasa kami shalat maghrib berjama’ah dilanjutkan dengan qadha sembahyang (shalat maghrib 2 kali) begitu juga dengan shalat fardhu lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan shalat sunnah ba’diah disambung dengan shalat sunnah selamat iman juga berjamaah. Kemudian kami baca wirid doa dan shalawat. Selepas itu kami shalat Isya dan dilanjutkan dengan shalat taraweh 20 raka’at (mutafaq ‘alaih) sepakat empat mazhab dalam hal ini hingga selesai, tanpa di tutup dengan witir. Kemudian kami istirahat kemudian kami bangun jam 3 pagi shalat sunnah tahajud 8 raka’at ditutup dengan shalat sunnah witir. Kemudian kami sahur bersama (hanya nasi dan sayur2an tidak boleh makanan yang mengandung darah sepeti ikan dan daging). Dilanjutkan dengan shalat subuh berjama’ah (juga qadha subuh) dilanjutkan dengan membaca zikir-zikir asmaul husna, doa-doa munajat dan shalawat. Semua di niatkan dihadiahkan pahalanya kepada baginda Rasulullah saw, guru-guru (ulama), orang tua kita dan seluruh kaum muslimin. Ini hanya sebagian kecil catatan penulis mengenai ritual tawajuh yang dilakukan di pesantren kami di ikuti oleh ratusan orang hingga berakhirnya bulan Ramadhan.

Tasawuf dan Hakikat

Hakikat menurut bahasa artinya kebenaran atau sesuatu yang sebenar-benarnya identik dengan aspek kerohaniaan. Lebih jauh bila kata hakikat dipergunakan untuk Tuhan, maka artinya menurut kajian tasawuf ialah sifat-sifat Allah swt. Adapun zat Allah itu sendiri disebut dengan Al-Haqq.

Menurut Ibnu Arabi,

“Segala sesuatu yang ada berasal dari Tuhan. Jika wujud Tuhan tidak ada, maka segala yang ada (mawjud) ini tidak pula akan ada. Wujud Tuhan inilah wujud yang hakiki atau hakikat dari segala-galanya, yang disebut dengan Al Haqq atau Haqqul-Haqa’iq. Adapun wujud-wujud yang lain hanya berupa pengejawantahan (tajali) dari wujud Al Haqq tersebut. Wujud Al Haqq tersebut tidak dapat menampakkan diri-Nya pada alam empiris yang serba terbatas ini, kecuali melalui penampakan sifat-sifat-Nya”
Wadah tajali Tuhan yang paling sempurna telah Allah perlihatkan pada diri Nabi Muhammad saw, karena beliau Al Haqiqah Al Muhammadiyah (Hakikat/Nur Muhammad). Yang penulis maksudkan disini bukanlah diri Nabi Muhammad saw yang lahir, tetapi al haqiqah al muhammadiyah itu adalah asal dari segala yang ada, yang bersifat kadim dan azali. Sebagaimana firman Allah yang mengatakan wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (tidak Aku ciptakan kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam). Makna dari ayat ini jelas bahwa tidaklah Allah jadikan alam beserta isinya kalau bukan karena adanya Nabi Muhammad. Artinya Nur Muhammad telah ada sebelum segala sesuatu diciptakan-Nya. Maka wajarlah bila ulama –ulama melahirkan ijtihad berdasarkan ayat diatas sunnah hukumnya kita merayakan Maulid Nabi pada bulan-bulan maulid. Siapa yang menentang pendapat ini berarti menentang (melecehkan) ijma’ ulama dan Rasulullah saw. Kalau Allah saja memuliakan Nabi sebegitu mulianya lalu kenapa kita tidak. Ini pendapat yang keliru tentunya.

Ada 3 tingkatan Hakikat menurut Syekh Amin Al Kurdi :

Terbukanya Hijab bagi hamba yang salik dengan apa yang dia imani tentang zat Allah, sifat-Nya, keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya.
Bersih dan Kosongnya Nafsu (hawa nafsu) hamba yang salik dari semua akhlak yang tercela dan dihiasi nafsu dengan segala sifat yang di ridhai Allah dan berakhlak dengan akhlak sunnah Rasul.
Mudah dan gampang melaksanakan amal-amal saleh dan amal kebaikan sehingga ia tidak mersakan padanya kesulitan dan keberatan, bahkan dirasakan sulit dan berat kalau dia meningalkannya.

Tasawuf dan Ma’rifat

Ma’rifat dalam bahasa artinya kenal atau tahu. Dalam tasawuf, ma’rifat berarti mengetahui Allah swt dari dekat, yaitu pengetahuan dengan hati sanubari. Seorang sufi ketika ia bercermin maka yang dilihatnya hanya Allah swt. Abu Bakar Al Kalabazi seorang sufi, bahwa Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya.

Sabda Rasulullah saw :

“Siapa yang mengenal dirinya, sesungguhnya dia mengenal Tuhannya”

Dalam Hadist Qudsi :

“Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku bersama dengannya ketika ia ingat kepada-Ku. Maka ketika dia ingat kepada-Ku di dalam hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku dan jika dia ingat kepada-Ku dalam lingkungan khalayak ramai, Aku pun ingat kepadanya pada khalayak ramai yang lebih baik. Dan jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku pun mendekat pula kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepada-Ku sehasta niscaya Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku berjalan maka Aku mendatanginya sambil berlari”. (H.R.Bukhari Muslim)
Zunnun Al Mishry berkata :

“Aku kenal Tuhanku dengan Tuhanku juga, kalau tidak dengan Tuhanku aku tidak mengenal Tuhanku (Al Qusyairi : 315)

Paham ma’rifat Zunnun itu diterima oleh Imam Al Ghazali sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena Imam Al Ghazali seorang figur yang sangat berpengaruh di kalangan mereka. Sehingga pola fikir tasawuf dapat diterima oleh kaum syariat.

Imam Al Ghazali mengatakan, “Ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Alat seorang sufi mendapatkan ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indra atau akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf (ma’rifat dan bukan falsafah). Yang akhirnya bertujuan meningkatkan akhlak terpuji melalui latihan jiwa yang mengandung kebahagiaan, moral, cinta pada Allah SWT dan fana di dalamnya, yakni mengacu pada moral ilahiyah”.


Demikianlah catatan kecil dari hamba yang fakir dan dhaif ini. Semoga secuil catatan kecil ini bisa menjadi hikmah bagi rekan-rekan semua. Sekali lagi mohon maaf bila ada kekurangan, karena sesungguhnya kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Tidak lupa shalawat dan salam bagi baginda Rasulullah beserta keluarga dan sahabat.

Allahummashalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar