Welcome to FRENDI FERNANDO (Majenang)Website ... monggo dinikmati...

Selasa, 18 September 2012

DR H Ali Mudhofir, M.Ag 

Menuju Arah Pendidikan Yang Ideal

Banyak sejarah yang menceritakan kebesaran nabi Ibrahim AS, dan karena kebesarannya itu pulalah, setiap kita melakukan shalat, pada tahiyyat terakhir kita selalu membaca shalawat Ibrahimiyah, di samping shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Itu sebagai pengakuan umat Muhammad atas kebesaran Nabi Ibrahim AS. Kita fokuskan pembahasan hari ini tentang kebesaran Ibrahim AS dalam kontek bagaimana beliau mendidik umat manusia. Sehingga kita tempatkan beliau ini sebagai seorang pendidik agung umat manusia, di samping pendidik bagi putra-putrinya. Kebesaran Ibrahim telah tampak semenjak beliau muda. Ibrahim muda tatkala melihat bapaknya yang bernama Azar, membuat patung lalu disembah sendiri patung tersebut. Ibrahim kecil berfikir cerdas, mencerna, sehingga mengakibatkan gejolak dalam alam fikirannya, lalu dia beranikan diri untuk bertanya kepada bapaknya : “Wahai bapak! Sebenarnya kenapa engkau buat patung ini lalu engkau sembah sendiri, bukankah ini perbuatan yang sesat?”. Inilah tanda kecerdasan anak yang telah bekerja, dan ini pula ujian Ibrahim yang pertama. Setelah Ibrahim dewasa, dan diangkat menjadi Rasul, Ibrahim harus berhadapan dengan penguasa yang dhalim, yakni raja Namrud. Karena Ibrahim punya pendirian yang kuat, bahwa Tuhan yang berhak aku sembah adalah Allah SWT, bukan Namrud hanya manusia biasa. Sehingga Ibrahim berdebat dengan raja Namrud. Ibrahim berkata : Kalau kamu benar-benar Tuhan, coba terbitkan matahari yang biasanya dari Timur, lalu balik menjadi terbit dari Barat”. Maka dengan pertanyaan dan logika Ibrahim ini, habislah logika Namrud, karena tentu dia tidak mampu melakukan itu. Inilah Ibrahim yang kuat pendiriannya dan cerdas otaknya. Ketika Ibrahim menjadi orang yang sudah tua, dan lalu punya anak, di diuji juga oleh Allah SWT. Yakni disuruh menyembelih putranya sendiri, Ismail AS. Sebagaimana diterangkan dalam Al Qur’an surah As Shaffat : 102- 112. Logika Ibrahim yang biasanya rasional diimbangi dengan jiwa kepasrahan spiritualitasnya, ternyata tidak membuat dia lupa diri, sehingga semua harus dilogikakan. Kalau mengikuti logika, bagaimana bisa Ibrahim yang telah lama mendambakan seorang anak, dan baru setua itu dia mendapatkan, lalu disuruh menyembelihnya. Tetapi Ibrahim dengan kekuatan spiritualnya berfikir : “Pada saatnya akalku harus tunduk kepada yang di atas akal”. Lalu dia patuh melaksanakan perintah untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Artinya, intelektualitas Ibrahim masih juga diimbangi dengan kekuatan spiritualitas dan emosionalnya. Dari kisah tersebut, yang bisa kita ambil pelajaran dari aspek pendidikan : Faktor Pertama, pendidik/guru. Ketika Ibrahim sudah menjadi guru bagi umat manusia dan putra-putrinya. Nah, dari segi pendidik, Ibrahim punya kekuatan yang hebat, intergritas pribadinya tidak diragukan lagi. Jadi sebagai pendidik yang baik, pertama, intergritas pribadi. Ada kaidah ahli pendidikan : “Methode pendidikan lebih penting daripada materi perndidikan, dan pribadi pendidik itu sendiri lebih penting daripada methode”. Di zaman sekarang di Indonesia berkembang berbagai macam methode, berbagai strategi methode inovatif, yang luar biasa banyaknya. Tetapi jangan lupa, walaupun sudah kaya dengan strategi, kaya methodology, jangan menganggap kalau sudah segala-galanya, karena pribadi gurunya, pendidiknya itu lebih penting dari pada methodology. Karena dengan melihat kepribadian guru, sang murid sudah bisa membaca, dan menilai. Kedua, sebagai pendidik harus mempunyai karakter yang kokoh. Tidak boleh berkarakter lembek, sehingga bisa diombang-ambingkan oleh suasana, apalagi ikut arus yang tidak mendidik. Ketiga, komitmen terhadap profesinya. Faktor kedua, system pendidikan. Bagaimana sekolah diatur sedemikian rupa sehingga tiga kekuatan anak didik tercapai. Kalau kita merujuk kepada kisah Ibrahim di atas, terdapat tiga kekuatan. Pertama, al quwwah al Aqliyah (kekuatan Intelektualitas/IQ). Sebab kalau tidak mempunyai IQ yang tinggi, mustahil dia yang seorang anak bisa mengkritisi orang tuanya. Bahkan setelah dewasa dia berani berdebat dengan raja Namrud, seorang penguasa yang dhalim saat itu. Kedua, alquwwah alinfi’aaliyah (kekuatan emosional). Dia bisa mengelola jiwanya, hatinya, sehingga bisa mengimbangi keuatan intelektualitasnya. Ketiga, alquwwah ar ruuhiyah (kekuatan spiritualitas). Bisakah anak-anak didik kita bisa mengkaitkan antara ilmunya dengan sang pemilik ilmu, yakni Allah SWT. Sinergi ketiga kekuatan inilah yang akan mengantarkan anak-anak didik kita memiliki jiwa Islam yang paripurna. Faktor ketiga, ilmu/ materi yang diajarkan. Apakah dalam suatu lembaga itu hanya mengajarkan ayat-ayat kauniah saja, sains saja, ilmu-ilmu rasional saja atau juga mengajarkan al aayaaat tanziiliyah (ayat-ayat yang diturunkan Allah) dalam bentuk dan digali dari wahyu; syariat, akhlak, moral dsb. Kalau lembaga tersebut memadukan keduanya, berarti lembaga tersebut adalah lembaga yang ideal. Faktor keempat, evaluasi. Pendidikan ideal bukan hanya menilai dari sisi otak, tetapi menilai apa yang ada dalam hati dan spiritual anak-anak didiknya. Seperti Ibrahim AS, ketika disuruh menyembelih anaknya itu sebenarnya dia diuji oleh Allah SWT. Apakah kecerdasan intelektual Ibrahim ini diimbangi dengan kecerdasan spiritual atau tidak. Apa otaknya patuh kepada wahyu apa tidak. Dengan reaksinya itulah tampak bahwa Ibrahim telah lulus dalam ujian, baik intelektual maupun spiritualnya. Mudah-mudahan kita sebagai pendidik di manapun dan apapun peran kita, mampu mengambil i’tibar dari perjalanan nabiyullah Ibrahim AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar